Laman

Jumat, 19 Februari 2010

Melihat Sisi-Sisi Nikah Siri

Nikah Siri adalah nikah yang tata caranya sesuai dengan agama Islam namun tidak dilakukan pencatatan di KUA. Nikah siri kini menjadi sangat fenomenal karena banyak sekali di lakukan oleh orang Indonesia. Dahulu fenomena nikah siri ini banyak terjadi karena faktor utama adalah tidak memiliki biaya untuk menikah. Namun seiring perkembangan jaman, alasan-alasan dilakukannya nikah siri menjadi bermacam-macam.

Lantas, sah kah nikah siri ini dilakukan? Bagaimana kedudukan hukum sang anak kelak jika kemudian terlahir dalam keadaan orang tua yang nikah siri? Apakah manfaat nikah siri ini? Untuk selanjutnya akan kita bahas mengenai konsep-konsep pernikahan yang dikenal dalam tata hukum Indonesia.

Sebelum kita menganalisis dasar hukum positif mengenai perkawinan mari kita lihat landasan Idiologi negara kita. Pancasila adalah landasan ideologi, dasar falsafah serta dasar paling fundamental dalam konstitusi kita. Jika kita akan membaca sebuah undang-undang maka kita harus mengacu pada Pancasila.

Mari kita uraikan terlebih dahulu. Dalam nikah siri terjadi hubungan keperdataan antara dua orang yang mengikatkan dalam perkawinan, namun sebuah perkawinan tersebut harus sesuai dengan tata cara Agama. Maka sesuai dengan Pancasila Sila Pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka kita harus mempelajari norma dasar dari perkawinan, khususnya adalah perkawinan Islam, maka kita wajib melihat aturan apa yang ada dalam Hukum Islam.


Perkawinan Dalam Islam

Dalam Islam perkawinan sangatlah dianjurkan, karena dalam Islam mengenal sebuah konsep yaitu bahwa hidup berpasang-pasangan merupakan pembawaan naluriah makhluk hidup bahkan segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan sesuai sunatullah, seperti pada QS. An Nisaa’ ayat 1: “ Hai manusia, bertaqwalah kamu kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari seorang manusia, kemudian menciptakan dari jenisnya jodoh baginya, dan dari keduanya dikembangkan keturunan yang banyak, laki-laki dan perempuan. …”

Namun bagaimanakah konsep perkawinan dalam Islam itu sendiri?
Pada dasarnya Islam mewajibkan umatnya untuk menikah. Rasulullah juga bersabda: “Barang siapa tidak senang mengikuti sunnahku tidak termasuk golonganku dan barang siapa tidak melaksanakan sunahku tidak termasuk golonganku”

Namun jika kita kaji lebih dalam sekalipun Islam mewajibkan pernikahan, ditinjau dari keadaan melaksanakan perkawinan dapat dikenai hukum wajib, sunnah, haram, makhruh, dan mubah.

1. Perkawinan yang Wajib
Yaitu jika seorang muslim telah memiliki keinginan kuat untuk menikah dan telah memiliki kemampuan memikul kewajiban serta dikhawatirkan zina jika tidak segera nikah.

2. Perkawinan yang Sunnah
Yaitu jika seorang muslim telah memiliki keinginan kuat untuk menikah dan telah memiliki kemampuan memikul kewajiban namun tidak dikhawatirkan zina jika tidak segera menikah.

3. Perkawinan yang Haram
Yaitu bagi orang yang belum berkeinginan dan tidak memiliki kemampuan memikul kewajiban hidup perkawinan sehingga jika tetap kawin akan menimbulkan banyak kemudharatan, seperti menyusahkan istri ataupun timbul kekerasan karena keadaan.

4. Perkawinan yang Makruh
Bagi orang yang mampu secara materi, cukup tahan mental dan agama sehingga tidak dikhawatirkan tersesat pada perbuatan zina.

5. Perkawinan yang Mubah
Bagi orang yang mempunyai harta yang cukup, namun bila tidak kawin tidak dikhawatirkan akan melakukan zina.

Dari landasan hukum tersebut dapat diketahui keadaan-keadaan apa saja yang dapat membuat seseorang boleh menikah atau dilarang menikah. Dalam surat An Nuur ayat 34: “Orang-orang yang tidak mampu nikah hendaknya menjaga kesucian diri. …”

Islam telah mengisyaratkan bahwa umat Muslin harus menjauhi segala hal yang tiada manfaatnya ataupun lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Maka dari itulah dari segi ini kita dapat melihat bahwa apa yang terkandung dalam hukum Islam tersebut memiliki aspek kemaslahatan umat. Secara sederhana maslahat (al-mashlahah) diartikan sebagai sesuatu yang baik atau sesuatu yang bermanfaat.

Maka ketika kita berbicara masalah kemaslahatan dalam perkawinan, latar belakang dilaksanakannya perkawinan tersebut pun harus diperhitungkan seperti yang tertera pada QS Al Maidah ayat 5: “ …Juga dibolehkan kamu kawin dengan wanita-wanita baik yang mukmin dan wanita-wanita baik dari ahli kitab sebelummu, kalau kamu telah memberi mereka mas kawinnya, dengan maksud mengawini mereka secara terhormat, bukan dengan tujuan zina atau menjadikan mereka wanita piaraan. …”

Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Ketika kita berbicara aspek hubungan perorangan di Indonesia maka untuk mengetahui apakah hubungan tersebut memiliki akibat hukum atau tidak maka kita harus melihat pada Burgerlijk Wetboek(BW) atau yang sering kita kenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(KUHPer). Dalam hal ini, yang menyangkut masalah Perkawinan, kita tidak lagi berpatokan kepada BW karena saat ini kita telah mempunyai landasan hukum sendiri yang mengatur masalah perkawinan yaitu Undang-Undang no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam UU ini dinyatakan bahwa Perkawinan merupakan salah satu bentuk perikatan. Perikatan tersebut dinyatakan dalam pasal 1 sebagai ‘ikatan lahir dan batin’ yang bertujuan untuk membentuk sebuah keluarga yang kekal yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari aspek hukum positif, sesuai dengan pasal 2 UU Perkawinan ini, sebuah perkawinan dianggap sah jika sesuai dengan hukum masing-masing agama atau kepercayaannya itu, serta harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Pasal ini memberikan konsekuensi bahwa suatu pernikahan di Indonesia diakui dan dapat dimintakan perlindungan hukum jika kedua syarat tersebut terpenuhi. Sehingga semua pernikahan yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam UU ini oleh negara dianggap tidak sah dan tidak dapat dimintakan perlindungan hukum.

Akibat hukum lain dari perkawinan menurut UU Perkawinan adalah menyangkut kedudukan anak. Dalam UU Perkawinan pasal 42 di sebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Lalu diperinci lagi melalui pasal 43 ayat (1) “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”

Hal ini nanti lebih jauh lagi dapat berimplikasi pada masalah hukum waris. Karena di Indonesia menganut sistem yang mewajibkan umat Muslim hanya boleh memakai hukum waris Islam, maka kedudukan anak juga harus dipertimbangkan, apakah anak tersebut terlahir dari pernikahan yang sah atau tidak.


Pernikahan Siri

Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan sesuai tata cara Islam namun tidak dicatatkan ke lembaga pencatatan. Kita tadi telah membahas mengenai aspek Syariat serta aspek hukum positif di Indonesia. Dengan landasan normatif tersebut kita akan mengkaji lebih dalam mengenai nikah siri.

Sesuai dangan apa yang tercantum dalam UU Perkawinan pasal 2 dapat jelas kita ketahui bahwa jenis pernikahan ini tidak sah menurut UU serta tidak diakui status nikahnya oleh negara, namun ketika kita melihat sudut pandang syariat, kita juga tidak boleh serta merta memberikan pandangan bahwa pernikahan tersebut sah ‘secara agama’.

Telah kita singgung tadi bahwa Hukum Islam mengatur mengenai kemaslahatan umat. Konsep yang telah kita bangun adalah bahwa dalam Islam harus menjauhi kemudharatan dan mendekati kemanfaatan. Untuk itu mari kita telaah apakah nikah siri ini sesuai dengan kemaslahatan umat?

Negara Indonesia adalah negara hukum, berbeda dengan Arab yang menggunakan moralitas semata. Jelas sekali bahwa hukum mengarahkan warganya pada keteraturan, sehingga orang yang taat hukum pasti di pangdang lebih baik dari pada orang yang tidak taat hukum. Begitu pula dalam pernikahan. Jelas sekali bahwa pernikahan yang sah harus dicatatkan namun mengapa tidak mau dicatatkan? Sesuatu yang janggal seperti ini bisa menimbulkan fitnah di lingkungan masyarakat. Sehingga unsur mudharat sudah tampak disini.

Lalu, alasan atau latar belakang dilaksanakannya pernikahan siri sangatlah tidak jelas. Dalam mempelajari hukum munakah(nikah), seseorang yang telah menikah harus mengumumkan pernikahannya ke khalayak demi menghindari fitnah. Dalam kasus ini biasanya sebuah pernikahan siri diidentikan dengan pernikahan yang sembunyi-sembunyi, sehingga dapat menimbulkan tanda tanya.

Muncul berbagai alasan lain, yang paling populer adalah alasan untuk menghindari zina. Memang benar bahwa salah satu upaya menhindari zina selain menahan diri dengan puasa adalah dengan menikah. Namun mengapa tidak sekalian dilakukan pencatatan? Bisa saja alasan nikah tersebut justru sebagai alat untuk melegalkan zina, maka haram hukumnya bagi orang yang melakukannya.

Alasan lain dari dilakukannya nikah siri yaitu orang tua masih khawatir anak yang dinikahkannya belum mandiri, belum dapat menghidupi dirinya sehingga pernikahan tersebut dilakukan secara siri terlebih dahulu. Telah kita bahas tadi mengenai hukum-hukum dalam munakah, bahwa justru jika orang tersebut belum mampu menghidupi dirinya apalagi istrinya maka jelas, haram hukumnya untuk menikah.

Lalu setelah kita melihat problematika diatas lantas muncul problematika baru yaitu status atau kedudukan anak. Dalam prinsip Hukum Tata Negara dalam Islam, mengisyaratkan bahwa suatu produk hukum tidak selalu berbentuk hukum Islam, selama implementasi atau jiwa dari hukum Islam tersebut telah mencakupi aspek hukum tersebut. Sehingga menurut penulis, ketika hukum positif yang mengatur tentang kemaslahatan umat telah mencakupi aspek-aspek syariat maka dapat dikatakan bahwa hal yang tidak diatur dalam Syariat, namun di atur dalam hukum lain yang tidak bertentangan namun di jiwai oleh syariat, dan bila dilanggar maka menimbulkan banyak kemudharatan maka menurut penulis hukum tersebut memiliki akibat hukum seperti Syariat.

Lalu apa kaitannya dengan kedudukan anak adalah ketika penulis telah memberikan pendapat bahwa nikah siri itu tidak sah menurut agama dan menurut UU, maka perbuatan persetubuhan hingga melahirkan anak adalah tergolong perbuatan zina. Sehingga anaklah yang menjadi korban kelak, karena menurut UU Pernikahan, anak yang lahir dari hubungan di luar nikah hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, begitu pula Syariat juga mengatakan bahwa jika anak tersebut terlahir dari hubunga zina maka anak yang lahir nanti secara nasab bukan keturunan laki-laki yang berzinan sehingga ia tidak berbapak dan tidak punya hubungan waris dengan si laki-laki.


Kesimpulan

Dari telaah-telaah di atas, dapat disimpulkan bahwa secara hukum Agama maupun secara hukum Positif, nikah siri dianggap tidak sah, sehingga tidak diakui oleh negara bahwa terjadi pernikahan serta tidak dapat dilakukan perlindungan hukum. Pernikahan siri memiliki lebih banyak sisi mudharat daripada manfaat, sehingga sebagai seorang muslim haruslah meninggalkan hal-hal yang mudharat dan mendekatkan diri ke hal-hal yang manfaat.



Avel Prasetya

Nb: Tulisan ini masih jauh dari sempurna, mohon kritik,saran serta koreksi jikalau ada kesalahan.

Minggu, 14 Februari 2010

Kenapa Bualan

Salam Damai semuanya.

Blog ini akan mengulas, mengkritisi, membahas, menjawab, atau justru menanyai berbagai permasalahan yang tak jauh dari kehidupan kita sehari-hari. Mencoba melihat berbagai aspek dengan berbagai kacamata ilmu seperti sosiologi, hukum, anthropologi, filsafat, sains, atau mungkin ilmu kebatinan.

Tapi, mengapa harus bertitel 'Bualan', berarti apa yang dibahas hanya sekedar omong kosong belaka?
Saya pun heran, kenapa saya harus kasih judul 'Bualan' ya. Tapi pada dasarnya saya bukanlah seorang ahli dalam ilmu pengetahuan, saya bahkan belum sarjana, kesenangan saya hanyalah mempertanyakan sesuatu yang mungkin orang lain tidak terpikir, dan saya cari jawabannya sendiri, dan untuk saya sendiri pada mulanya. Namun, jawaban-jawaban yang saya dapatkan rasanya seperti akan meledak di hati saya karena bagi saya, perlu untuk diperbincangkan dan dibahas bersama orang lain, sehingga mencapai jawaban yang bijaksana, dan mendekati benar, karena 'kebenaran' mutlak hanya milik Sang Absolut.

Kedua, kenapa menggunakan kalimat literatur? Tulisan yang akan saya sampaikan adalah berupa karya bualan kajian akademis yang mengkritisi tentang problematika dan fenomena yang berkembang. Saya harapkan apa yang dapat saya sampaikan dapat pula menjadi bahan referensi merenungi segala sesuatu.

Itu saja pendahuluan blog ini. Terima Kasih!